Cianjurterkini.com — Direktur Politic Social and Local Government Studies (Poslogis), Asep Toha, atau akrab disapa Kang Asto, menilai gelombang kritik masyarakat terkait tidak munculnya program insentif guru ngaji dalam dokumen perencanaan daerah merupakan tanda positif bagi kualitas demokrasi lokal. Ia menegaskan bahwa janji kampanye bukan retorika, melainkan kontrak sosial yang wajib dipertanggungjawabkan oleh kepala daerah terpilih.

Publik Tak Sekadar Menagih Janji, Tapi Mengoreksi Jalannya Pemerintahan
Menurut Kang Asto, fenomena masyarakat menuntut janji kampanye merupakan bentuk kontrol politik yang semakin dewasa.
“Apa yang dilakukan publik bukan hanya menagih janji, tetapi mengoreksi arah pembangunan yang dianggap menyimpang,” ujarnya.
Ia menilai, ketika program yang dijanjikan saat kampanye justru tidak masuk ke dokumen perencanaan daerah seperti RPJMD dan RAPBD, maka terjadi ketidaksinkronan serius antara visi politik dan implementasi kebijakan.
“Ini bukan hanya masalah etika politik. Ketidaksesuaian janji kampanye dengan dokumen perencanaan dapat berpotensi melanggar regulasi,” tegasnya.
Potensi Pelanggaran Regulasi: Dari UU Pemda hingga SPPN
Kang Asto mengurai sejumlah aturan yang menegaskan bahwa janji kampanye wajib dituangkan dalam dokumen resmi pemerintahan.
1. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 65 dan 264 menegaskan bahwa RPJMD wajib mengacu pada visi-misi kepala daerah terpilih.
2. Permendagri No. 86/2017
Regulasi ini menjelaskan secara teknis bahwa RPJMD harus memuat program-program kampanye.
3. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Menekankan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
“Jika janji tidak masuk dalam RPJMD, itu bukan sekadar kelalaian. Itu bentuk ketidakpatuhan administratif,” kata Kang Asto.
Kritik Publik Bagian dari Demokrasi Sehat
Menurutnya, masyarakat yang aktif mengingatkan kepala daerah adalah salah satu ciri bahwa demokrasi lokal sedang menuju kematangan.
“Demokrasi yang sehat lahir ketika rakyat berani menuntut konsistensi, dan pemimpin berani mempertanggungjawabkan janjinya,” ujarnya.
Jika janji kampanye tidak diwujudkan, lanjutnya, maka itu bukan hanya pengingkaran moral, tetapi juga indikasi bahwa proses perencanaan pembangunan tidak berjalan sesuai amanat undang-undang.*
Komentar